Dialog Papua-Jakarta: Ketua FKMPT Ismael Asso; Papua Sudah Berdaulat Sejak 1961

Foto: Ismael Asso, Ketua Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua.


A. Dasar Permasalahan Papua

Ortis Sanz utusan Sekjen PBB menolak hasil: Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) (1962), karena tak sesuai standar internasional melainkan cara tradisional Indonesia (Musyawarah-Mufakat) dibawah ancaman dan intimidasi. 

Fakta PEPERA tak sesuai sistem; ‘one man one vote’,(satu orang satu suara), melainkan sistem perwakilan; ‘all man one vote’ (satu orang mewakili banyak suara). 

Yang sangat menyakitkan rakyat Papua pencurian harta karun rakyat Papua. PT Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, sudah lebih dulu ditandatangani tahun 1967, padahal status Papua belum resmi disahkan PBB sebagai bagian Indonesia. Hasil Pepera baru disahkan tahun 1979 sebagi bagian Indonesia.

Pelanggaran (Indonesia-Amerika) dimotivasi harta karun, kekayaan alam Papua yang sangat kaya raya. Terbukti penandatangan tambang emas PT Freeport Mc Moren Golden jauh sebelum PBB mengesahkan Papua sebagai bagian dari Indonesia. 

Sejak itu proses ekosida (alam Papua) sekaligus genosida (HIV/AIDS, alcohol, KB, dan konfrontasi militer), (Sendius Wonda, 2008) membawa banyak korban pihak rakyat Papua.

Pertemuan 100 tokoh perwakilan rakyat Papua dipimpin Tom Beanal tanggl 26 Februari 1999, menyampaikan kepada Presiden BJ Habibi bahwa rakyat Papua bertekad keluar memisahkan diri dari NKRI. 

Punjaknya Kongres Rakyat Papua ke-II, dibiayai 1 Milyar oleh Presiden RI ke 4 (empat) (Gus Dur). Kongres di GOR Jayapura 29 Mei s/d 4 Juni 2000, dihadiri ribuan orang, 501 peserta mempunyai hak suara. Hasil Kongres menyatakan empat kenyataan de facto:

1. Bahwa pada tahun 1961 Bangsa Papua sudah berdaulat;

2. Bahwa Bangsa Papua tidak terwakili sewaktu New York Agreement ditetapkan pada tahun 1962;

3. Bahwa PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) cacat hukum dan dilaksanakan disertai intimidasi dan penindasan;

4. Bahwa ada pelanggaran HAM selama 38 tahun tidak pernah ditangani secara hukum.

B. Otsus Bukan Solusi

Sebagai jalan tengah UU No 21/2001 Otsus ditawarkan Pemerintah Pusat diterima PDP tapi ditolak TPPN/OPM. Bagi mereka Papua Merdeka Harga Mati. Dewan Papua (PDP) menyetujui Otsus dengan syarat pelurusan sejarah. 

Harapan orang dengan Otsus dapat meredam anasir separatisme. Padahal Otsus hanya menimalisir bukan solusi final. Sebab jika penyelesaian konflik, tanpa penegakan hukum dan HAM. Maka perang antara TNI/POLRI versus TPPN/OPM tetap langgeng. 

Demikian penyelesaian tanpa melibatkan kelompok separatis sesungguhnya TPPN/OPM. Akhirnya harapan utopia; ”Papua Zona Damai” tak lebih hanya “live service”,para tokoh Agama Papua dan TNI/POLRI.

Dugaan keliru dengan Otsus persoalan Papua selesai, separatisme bisa diredam. Ternyata meleset, separatisme tetap ada, Otsus tidak mampu meredam keinginan Merdeka orang Papua. 

Dana Otsus ratusan trilyun dikucurkan tak menghentikan keinginan rakyat Papua lepas dari NKRI. Gejolak belum usai sebagaimana harapan. Mengapa itu bisa terjadi?

TPPN/OPM dihutan tidak pernah terlibat dalam perjanjian Otsus. Hanya PDP tapi dengan syarat pelurusan sejarah, penegakan HAM, dan dialog kontruktif. Tapi semua dikhianati. Jakarta tidak pernah secara konsisten melaksanakan UU Otsus yang dibuatnya sendiri.

C. Dialog

Keinginan dialog secara gentelmant selalu ditampik Jakarta. Pelurusan sejarah, penegakan HAM dan perundingan Papua-Indonesia melalui pintu dialog tidak pernah terjadi. 

Yang terjadi selama ini bukan dialog tapi monolog antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berdialog sendiri. Jakarta terkesan “takut”, akhirnya hindari berdialog. 

Pemerintah akhirnya merasa perlu kerahkan aparat militer meredam aksi Egianus Kogaya. Apakah pengerahan militer dapat menghasilkan solusi Papua jadi aman damai? 

Saya skeptis dengan konsep ini. Karena Pusat tidak pernah libatkan TPPN/OPM berdialog. Hasilnya bisa ditebak, aksi separatism terus ada tanpa sanggup dihentikan Otsus.

TPPN/OPM tetap eksis bergerilya selalu akan mengganggu aktifitas pembangunan selama kompromi mencari solusi tidak pernah melibatkan mereka. Bagi mereka Papua Merdeka harga Mati. Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan TPPN/OPM dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua.

Selama ini yang duduk berunding hanya beberapa orang kelompok pro Jakarta, tanpa melibatkan tokoh TPPN/OPM. Mereka eksis mempertahankan idealisme, konsisten dengan prinsip mereka, no comromi! 

Bagi mereka penyelesaian kasus Papua solusinya adalah pelurusan sejarah, penegakan hukum, HAM dan demokrasi, baru benar ada perundingan perjanjian perdamaian menuju "Papua Zona Damai".

Kalau tidak, bicara soal 'Dialog', hanya omong kosong. Kecuali menimalisir anasir separatisme potensial kaum intelektual dan OPM kota buatan militer. TPPN/OPM dalam garis perjuangannya jelas, tuntutan pengakuan kedaulatan penuh wilayah Papua dari aneksasi Indonesia.

Selama tuntutan belum dipenuhi sepanjang jalan itu akan ditempuh TPPN/OPM bersama rakyat Papua. Jakarta berkompromi dengan kelompok LSM, pekerja sosial, kelompok peduli lingkungan bukan dengan TPPN/OPM. Mereka tak terjangkau dari Jakarta karena terpencar dihutan Papua dan belahan lain di negara Fasifik.

Karena itu wajar perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan TPPN/OPM dan kesadaran dialog sepanjang pelanggaran HAM, keadilan ekonomi, tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap eksis. 

Bagi mereka selain dialog Papua-Jakarta dimediasi internasional belum dipenuhi, sepanjang itu pula TPPN/OPM, mahasiswa dan rakyat Papua selalu meneriakkan yel-yel perjuangan sambil mengangkat issu-issu relevant.

D. Solusi

Dialog tiga tahap :

1. Dialog Lokal

Tahapan ini melibatkan semua component komunitas Papua secara menyeluruh baik pendatang, penduduk Asli, pesisir dan Gunung dll.

2. Dialog Nasional

Tahapan dialog ini melibatkan perwakilan orang Papua yang terdiri dari :

a. Perwakilan TPPN/OPM

b. Perwakilan Agama

c. Perwakilan Perempuan

d. Perwakilan Pemuda/Mahasiswa

e. Perwakilan Adat

3. Dialog Internasional

Mengingat Integrasi Papua kedalam NKRI melibatkan pihak internasional (PBB/UNTEA), maka perdamaian dalam rangka menghentikan semua bentuk kekerasan yang terjadi di Papua perlu melibatkan pihak Internasional.

Tahapan ini yang mewakili Papua adalah orang-orang Papua yang direkomendasikan dan ditunjuk oleh Jaringan Papua Damai (JDP) sebagai perwakilan Papua 5 orang dan perwakilan Indonesia (pemerintah) ditengahi oleh utusan PBB (internasional)

Editor : Akuratpapua.com
Penulis : Ismail Asso 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jakarta, Mahasiswa Asal Meepago Tolak DOB Provinsi Papua Tengah, Berikut Isi Pernyataan.

Resmi! Hengky Yikwa Dilantik Sebagai Ketua Panitia Konferensi Ke III Pemuda Baptis West Papua

IPPMAPI Kota Studi Nabire Usai Terima Puluhan Anggota Baru Secara Resmi