Berbobot! Seminar Demokrasi, HAM & Rasisme di Papua
Seminar berbobotan yang dikoordinir oleh Ikatan Mahasiswa Papua Jakarta, Depok, Tangerang dan Bekasi (IMAPA_JADETABEK) Komisi Lidbang dengan Tema "Seminar Demokrasi, HAM & Rasisme di Papua", Sabtu, (27/2/2021). |
JAKARTA_AKURATPAPUA.COM -- Seminar berbobotan yang dikoordinir oleh Ikatan Mahasiswa Papua Jakarta, Depok, Tangerang dan Bekasi (IMAPA_JADETABEK) Komisi Lidbang dengan Tema "Seminar Demokrasi, HAM & Rasisme di Papua". Pembicara di seminar tersebut antara lain, Natalius Pigai, mantan ketua KOMNAS HAM RI, Haris Azhar pendiri Kontras, Veronica Koman, Aktivis Kemanusiaan di Indonesia, Dr. Antie Solaiman, Akademisi UKI dan Willem Wandik DPR-RI Komisi V," di Jakarta, Sabtu, (27/2/2021) Lalu.
Sangat sering di diskusikan di berbagai kalangan intelektual hinggal ke level internasional namun tak kunjung mendapat jalan menyelesaian dari yang punya kuasa di negeri ini.
"Ribuan rekomendasi yang dihasilkan dari diskusi-diskusi kritis hanya berakhir di atas sebuah kertas tanpa ada tindak lanjut yang serius dan cenderung hanya bersifat seremonial untuk kepentingan politik semata." Pesan tertulis yang diterima media akuratapapua.com", Sabtu, (6/3/2021).
Menurut Willem Wandik, Ratusan fakta-fakta pelanggaran HAM dan Kasus rasisme yang menimpa Orang Asli Papua (OAP) membuat kita bertanya-tanya apakah Orang Papua memang benar-benar bagain dari NKRI atau hanya di anggap sebagai masyarakat kelas 2 yang tidak perlu di perhatikan Hak hidup yang melekat pada setiap individu di Papua.
"Negara ini pernah menawarkan solusi ketatanegaraan dengan Otonomi khusus pada tahun 2001 namun faktanya. Sebuah janji sorga yang hasilnya seperti neraka di Tanah Papua. pelanggaran pelanggaran HAM terus dilegalkan dan rasisme semakin bertumbuh subur dan yang lebih menyakitkan para pelakunya di anggap seperti pahlawan oleh negeri ini", katanya.
Lanjut Willem, Hingga saat ini siklus kekerasan di tanah papua belum bisa dihentikan dan yang paling mirisnya lagi adalah kekerasan tersebut didominasi oleh Negara atau aparat keamana. Faktor inilaha yang sering memicu pergolakan di tanah papua. Kasus biak numfor, peristiwa wamena, peristiwa paniai, kasus mapenduma, peristiwa nduga dan masih banyak lagi periswa-peristiwa lainnya yang hingga kini kini tidak jelas upaya penuntasannya.
"Persoalan kekerasan dan dan diskriminasi membuat orang papua merasa nyaawanya sama sekali tidak dihargai dan itulah yang menyebabkan sebagain besar orang papua tidak percaya lagi kepada Negara dan menginginkan referendum. Oleh karena ini untuk mengembalikan kepercayaan itu, maka dibutuhkan political will yang sungguh-sungguh dari nega untuk segera membentuk Komisi kebenaran dan rekonsiliasi dan segera membentuk peradilan HAM", beber DPR-RI Komisi V itu.
Sungguh sangat miris melihat kondisi demikian terjadi di Negara yang katanya menganut sistem Demokratis. Semagat pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat yang menjadi roh demokrasi tidak terlihat di Tanah Papua.
Pendekatan pembangunan semata tidak cukup bagi orang papua. Permasalahan diskrimiiasi dan marginalisasi yang menimpa orang papua juga mesti di tuntaskan. Kasus rasisme yg terus berulang menimpa Orang Asli Papua (OAP) membuat kita bertanya2 ada apa dengan kesehatan mental dan akal sehat masyarakat, apakah kami tidak layak menjadi bagian dari NKRI?? . stigmatisasi negative terhadap orang ras melanisia di Negara ini masih sering terjadi baik oleh orang perorang, organisasi kemasyarakat, dan bahkan oleh Negara",tegasnya.
Lanjut Wandik, Pemberlakuan otonomi khusus setengah hati oleh pemerintah pusat adalah bukti diskriminasi Negara terhadap orang papua. hal tersebut dibuktikan dengan tidak diakomodirnya beberapa tuntutan masyarakat papua dalam menjalankan otonomi khusus tersebut. Otsus di Papua tidak ada yang khusus, Karena orang Papua dilarang berekspresi, demo diam pun dilarang. Orang papua tidak bebas mengibarkan identitas politiknya padahal ada kekhususan. Semua UU dan kebijakan politik tetap ada di Pemerintah di Jakarta. Maka Otsus hanya stempel saja, karena secara ekonomi politik sosial tetap keputusan berada di tangan Jakarta. Pemerintah Otsus di Papua tidak memiliki kekhususan dalam otoritas artinya tidak bisa mengatur atau tidak berdaya atas apa yang dilakukan oleh TNI Polri di Nduga, di Timika dan berbagai tempat lain.
"Salah satu alasan mengapa orang papua menginginkan referendum adalah karena orang papua merasa termajinalkan dan tersisih di atas tanah leluhurnya sendiri. Karena merasa tidak adil secara ekonomi dan politik sehingga menuntut kemerdekaan."
Menurutnya, Tentu orang papua merasa iri dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap otonomi khusus yg ada di Aceh. Oleh karena itu kami meminta pemerintah pusat dapat mengakomodir kebijakan yang bersifat mendasar hakekat kehidupan orang papua, seperti pengakuan terhadap symbol-simbol kedaerahan, pembentukan partai politik daerah sebagai wadah formal mengekspresikan pandangan politik orang asli papua, pengakuan terhadap peraturan daerah yang setara dengan perda syariah yang di berlalkukan di Provinsi Aceh, serta pemberian kewenangan untuk pemerintah papua dalam mengelola kekayaan sumber daya alam yang dimiliki," tandasnya.
Oleh karena ini melalui kesempatan yang baik ini kami meminta kepada Pemerintah pusat untuk sedikit menurunkan egoisme kekuasaannya dan mau melakukan dialog dengan seluruh stake holder yang ada ditanah papua agar konflik bersenjata dapat di hentikan.
Kedua, agar dialog berlangsung secara damai maka kami meminta agar pemerintah pusat segera menarik seluruh pasuakn non organic dari Tanah Papua. karna kehadiran para pasukan ini tidak membawa kedamaian bagi masyarakat papua malah menimbulkan ketakutan dan traumatik yang mendalam.
Ketiga, Jika pemerintah ingin menuntaskan akar permasalahan di tanah papua maka kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Aparat Negara disana harus berujung pada pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi dan segera dibentuk peradilan HAM. Itulah bentuk konkrit upaya yang harus kita lakukan. Suka tidak suka, mau tidak mau, peradilan HAM harus dibentuk. Kalau tidak akan sulit mengungkap kebenarannya.
Ke empat, melalua kesempat ini juga saya ingin mengatakan bahwa kalau Revisi UU 21/2001 ini menjadi solusi ketatanegaraan yang tepat menurut pemerintah maka biarkan masyarakat papua yang mengevaluasi UU tersebut dan mengembalikannya kepada Majelesi Rakyat Papua sesuai ketentuan yang ada pada pasal 77 UU 21/2001. Biarkan masyarakat papua yang menentukan nasibnya sendiri.
Hal itu disampaikan Willem Wandik, setelah melihat hasil seminar "Demokrasi, HAM & Rasisme di Papua" Yang diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Papua Jakarta, Depok, Tangerang dan Bekasi (IMAPA_JADETABEK) Komisi Lidbang, di Jakarta", Sabtu, (27/2/2021), Lalu.
Penulis: Willem Wandik, S.Sos
Pewarta: Matius Wonda
Editor: Jhon Timepa
Solusinya MERDEKA.
BalasHapus