Polda Papua Menuduh MRP Merencanakan Makar: Mahasiswa Papua; Bila Terbukti Bubarkan Saja MRP
Foto: Ilustrasi |
Akuratpapua.com_Opini- Polda Papua Irjen. Pol. Drs. Paulus Waterpauw menerbitkan Maklumat
bernomor: Mak/I/XI/2020, dengan tuduhan serius bahwa kegiatan Rapat
Dengar Pendapat Rakyat Papua (RDPRP) yang
dilakukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah berpotensi makar.
Berdasarkan maklumat tersebut diatas, Polres Merauke menangkap lebih dari 50 orang dari Majelis Rakyat
Papua (MRP) terkait kegiatan rapat dengar pendapat (RDP), pada Selasa
(16/11) lalu. Mereka dijerat dengan tuduhan makar.
Kapolres Merauke AKBP Untung Suriatna menjelaskan bahwa aparat melakukan penindakan lantaran kegiatan rapat MRP itu menyalahi aturan dan tidak menerapkan protokol kesehatan selama masa pandemi Covid-19.
Mestinya, kata Untung, rapat ditujukan untuk membahas evaluasi perpanjangan UU nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) di Papua.
Namun
Saat dilakukan penindakan, beberapa anggota kedapatan mencoba untuk
membuang dokumen-dokumen dalam rapat yang ternyata memuat struktur
organisasi lengkap dalam rencana referendum yang dibuat.
Jhon Timepa; salah satu Mahsiswa Papua menanggapi tuduhan serius itu, Bila
terbukti Lembaga Majelis Rakyat Papua Dan Papua Barat MRP itu
merencanakan makar terhadap Negara maka Negara harus membubarkan Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) itu lantaran rakyat Papua lagi ramai ramai menolak.
Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah lembaga Negara yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945 (Konstitusi) melaui Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat sebagai otoritas. Rapat
Dengar Rendapat Rakyat (RDPR) yang diselenggarakan oleh Majelis Rakyat
Papua (MRP) adalah sesuai amanat Negara melalui Undang Undang nomor 21 Tahun 2001
tenang Otonomi Khusus Bagi Papua dan Papua Barat", Jhon jelaskan,
"Pasal 77
UU No. 21/2001 berbunyi Usul perubahan atas Undang-Undang ini dapat
diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau
Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan"
Bagian A
"Pasal
yang sama menjelaskan bahwa dan itu bukan oleh segelintir orang, tetapi
oleh ribuan orang yang mewakili berbagai komponen orang asli Papua", lanjut Jhon
Undang Undang Nomor 9 tahun 1998
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Pasal 28
Undang-Undang Dasar 1945 namun justru setiap aksi demontrasi damai yang lakukan oleh rakyat Papua dalam rangkah menurut keadilan dan menolak perpanjangan Otonomi Khusus
Bagi Papua dan Papua Barat, selalu dipukul, dipenjara dan dibubarkan paksa oleh
gabungan aparat militer Indonesia, sehingga setiap aspirasi rakyat papua itu tidak pernah
sampaikan secara terbuka untuk umum di muka publik. Berbagai kekerasan
seperti Diskriminasi, Rasis dan Intimidasi terhadap Mahasiswa Papua
juga terus terjadi di seluruh wilayah Indonesia". kata Timepa kepada Akuratpapua.Com, Senin (30/11/2020).
Timepa menambahkan; Pengiriman Aparat Militer Indonesia
di tanah Papua terus meningkat hampir setiap bulan dalam jumlah uang
banyak di tengah-tengah Covid-19 dengan alasan pengamanan, rakyat Papua
mengalami traumatis di seluruh Kabupaten dan Kota atas kehadiran Aparat
Militer Indonesia yang berlebihan. Saking
banyaknya TNI-POLRI di seluruh tanah Papua maka kekeras pun makin
meningkat hingga berujung TNI menembak mati seorang Pdt Yeremias
Zanabani pada sabtu (19/9/2020) dan diduga TNI kembali menembak dua
pelajar di perbatasan Distrik Gome dan Agandugume, Ilaga, Papua, Jumat
(20/11). Korban pelajar bernama Atanius Murib (17) tewas di tempat.
Sementara kawannya, Maluk Murib (17) dalam kondisi kritis
Negara terus mengabaikan berbagai aspirasi protes penolakan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Negara jistru kerja keras mendorong UU nomor 11 Tahun 2020 Tentang
Cita Kerja dan Pilkada serentak ditengah-tengah Covid-19 tanpa
mempertimbangkan Hak hidup dan dampak buruk akibar pilkada di tengah Covid-19 yang akan hadapi oleh rakyat di seluruh indonesia.
Jika
kita mengamati setiap kebijakan pemerintah di akhir-akhir ini maka
semua ini praktek orde baru yang pernah terkubur sejak
tahun 1998, semua itu terjadi demi kepentingan
investasi dan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia maka Negara
manfaatkan pandemik Covid-19 untuk mengesahkan UU Nomor 11 Tahun 2020
tentang Citpa Kerja". Jhon menuturkan
Dari semua bentuk
kebijakan dan praktek-praktek yang dilakukan oleh negara diera ini, maka
harus akui bahwa negara tidak lagi memihak pada rakyat namun negara pro
pada para kapitalisme lokal, nasional dan internasional;. tutup Jhon.
Credit: Jhon Timepa
Komentar
Posting Komentar